Setiap profesi memiliki etika yang
berbeda-beda. Namun, setiap etika harus dipatuhi karena etika berkaitan dengan
nilai-nilai, tata cara dan aturan dalam menjalankan setiap pekerjaannya. Dalam
bidang akuntansi juga memiliki etika yang harus dipatuhi oleh setiap
anggotanya, salah satu profesi yang ada pada bidang akuntansi adalah Akuntan
Publik. Kode Etik Profesi Akuntan Publik (sebelumnya disebut Aturan Etika
Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan
Publik Indonesia atau IAPI (sebelumnya Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen
Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAPI
maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik
(KAP). Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan
bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di
lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia
pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Tujuan profesi
akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme
tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada
kepentingan publik. Namun, pada prakteknya pelanggaran kode etika profesi
akuntansi masih saja terjadi di Indonesia.
Pentingnya penerapan Etika Profesi merupakan pedoman
yang penting dalam berperilaku yang baik dalam
suatu profesi. Belakangan ini banyak sekali pelanggaran dan kecurangan
yang timbul akibat penerapan etika profesi yang tidak maksimal. Banyak
kecurangan-kecurangan yang timbul karena terkikisnya kejujuran dan
kebijaksanaan dalam berperilaku. Banyak perusahaan yang kurang memperhatikan
terhadap laporan keuangan tersebut apakah sudah sesuai atau kurang sesuai
dengan Standar Akuntansi yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, perusahaan dapat
menggunakan jasa audit yang dianggap independen dalam memeriksa laporan
keuangan tersebut, jasa audit yang dimaksud adalah dengan menggunakan jasa
auditor eksternal yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik. “Salah satu contoh
kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI).
PT. KAI adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang
menyelenggarakan jasa angkutan kereta api. Kereta Api pertama ada pada
tanggal 17 Juni 1864 di Indonesia. Pada tanggal 28 September 1945 ditetapkan
sebagai Hari Kereta Api serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Repoeblik
Indonesia (DKARI). Nama DKA pun berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta
Api (PNKA) semasa orde lama. Kemudian, pada tanggal 15 September 1971 berubah
menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA, Perjanka). Lalu, pada
tanggal 2 Januari 1991, PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta
Api (Perumka) dan semenjak tanggal 1 juni 1999, Perumka mulai menunjukkan
keterbukaannya dan berubah menjadi PT Kereta Api (Persero) (PT KA).
Pada bulan Mei 2010, nama PT. KA berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia
(Persero) (KAI) hingga saat ini.
Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata
kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan dan bagaimana peran dari
tiap-tiap badan pengawas dalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak
salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya. Kasus PT. KAI berawal
dari perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite
Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan
yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Komisaris meminta untuk dilakukan
audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai
dengan fakta yang ada. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT.
KAI adalah rumitnya laporan keuangan PT. KAI.
Perbedaan pandangan antara manajemen dan
komisaris tersebut bersumber pada perbedaan mengenai masalah uang muka gaji.
Biaya dibayar dimuka sebesar Rp. 28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan
seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember
2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus
dibebankan pada tahun 2005. Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa terdapat
perselisihan antara manajemen dan komite audit, dimana dalam menentukan
pembayaran gaji untuk bulan Januari 2006, komite audit meminta untuk dibebankan
pada Desember 2005. Menurut laporan yang dihasilkan oleh auditor eksternal,
pembayaran gaji dapat dibayarkan dimuka pada Bulan Desember 2005 untuk
pembayaran gaji tahun 2006.
PT KERETA API INDONESIA (PT. KAI)
terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan
stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan
masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data
dalam laporan keuangan PT. KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih
keutungan sebesar Rp6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih
rinci, perusahaan justru menderita kerugian sebesar Rp63 Miliar. Komisaris PT.
KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat
Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan
itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan
keuangan PT. KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh
Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), sedangkan untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK
dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian
diserahkan Direksi PT. KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham, dan Komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 sebagai berikut:
1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun
tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai
pendapatan PT. KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat
ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan
dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan
yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standar
Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa
dimasukkan sebagai aset. Di PT. KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat
penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
2. Penurunan
nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 Miliar yang
diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002
diakui manajemen PT. KAI sebagai kerugian secara
bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih
tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar
Rp6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
3. Bantuan pemerintah yang belum
ditentukan statusnya dengan modal total nilai kumulatif sebesar Rp674,5 Miliar
dan penyertaan modal negara sebesar Rp70 Miliar oleh manajemen PT. KAI disajikan
dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang.
4.
Manajemen PT.
KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya
kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat
jasa angkutannya diberikan PT. KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan
keuangan antara Komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT. KAI tidak
memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu
juga membuat komite audit (komisaris) PT. KAI baru bisa mengakses laporan
keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan
Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi
sanksi teguran atau pencabutan izin praktik. Kasus PT. KAI berawal dari
pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai
akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai
salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip
akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT. KAI tahun 2005
disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat
kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai
dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan
masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor
menyatakan Laporan Keuangan itu Wajar Tanpa Pengecualian. Tidak ada
penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut
dipertanyakan. Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT. KAI
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang
melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu
menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan
PT. KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut
profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap
kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi
yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan
kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak
membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui
kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala
bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian
khusus dan tindakan tegas perlu dilakukan.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar