Hak Paten Tempe
Tempe, makanan
sederhana dari olahan kacang kedelai, sangat lekat dengan kehidupan sebagian
masyarakat Indonesia. Hak patennya justru dimiliki oleh Negara lain.
"Tempe bukan punya
Indonesia, tapi sudah dipatenkan oleh Jepang," kata Vindex Tengker,
Executive Chef Hotel Dharmawangsa, kepada Okezone di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya,
dipatenkannya tempe oleh Negeri Sakura itu menandakan ketidakpedulian Indonesia
terhadap khasanah kulinernya. Meski demikian, tambahnya, Indonesia beruntung
karena masih memiliki tempe yang khas dengan pembungkus daun pisang. Pasalnya,
tempe yang dipatenkan Jepang adalah dalam kemasan plastik. Tempe adalah makanan
yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang
menggunakan beberapa jenis ragi Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh.
oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini
secara umum dikenal sebagai "ragi tempe". Kapang yang tumbuh pada
kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang
mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B
dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat,
seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah
penyakit degeneratif. Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan
miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur
yang memadat. Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe
memiliki rasa dan aroma khas. Berbeda dengan tahu, tempe terasa agak masam.
Berbagai penelitian di sejumlah negara, seperti Jerman, Jepang, dan Amerika
Serikat. Indonesia juga sekarang berusaha mengembangkan ragi (strain) unggul
Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat, berkualitas, atau memperbaiki
kandungan gizi tempe. Nah, ragi jenis Rhizopus inilah yang dipatenkan oleh
Jepang. Mereka mengklaim yang menemukan ragi Rhizopus oligosporus terbaru
adalah seorang Jepang bernama T. Yokotsuka. Ragi ini dipakai untuk tempe yang
dibungkus oleh plastik. Sedangkan yang dibungkus oleh daun pisang, raginya
lebih alami karena dibantu oleh fermentasi dari daun pisang itu sendiri.
Menurut Presiden
Association of Professional Culinary (ACP) ini, Jepang mematenkan tempe karena
negara maju tersebut bisa mengolah tahu dan soya, yang bahan dasarnya adalah
kacang kedelai. Jepang kemudian mendaftarkannya ke Komisi Intelectual Property
Rights. Tercatat ada 19 paten
tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki
oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2
paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1
paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe.
Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten
mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe
yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue
(Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat
dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras,
tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Paten lain untuk
Jepang, Tempe, Temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd.) diberikan pada
tanggal 10 Juli 1986. Tempe tersebut dibuat dari limbah susu kedelai dicampur
tepung kedelai, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin,
na-kasinat, dan putih telur. Akibatnya para pengrajin tempe Indonesia harus
berhati-hati ketika memproduksi tempe karena dapat saja dituntut oleh pemilik
hak paten tempe dari Jepang atau Amerika Serikat. Demikian pula jika kita ingin
membuat penyubur rambut dari bahan-bahan tradisional.
Tempe, teknologi dan
mikrobanya dipaten di Jepang, tapi tidak dipaten di Indonesia. jadi kita bisa
terus mengkonsumsi tempe tanpa sangsi. Tapi bila mereka akan memantenkan di
Indonesia, maka kantor paten di Indonesia bisa menolak hal ini karena tempe
merupakan hak kekayaan bangsa Indonesia. Kalau Japanese mau mematenkan tempe di
US, let it be. Soalnya untuk biaya paten mahal dan juga hanya untuk jangka 10
tahun dan bisa diperpanjang untuk 10 tahun lagi. Memang eksportir tempe
Indonesia sulit memasarkan tempe di US, kecuali teknologi dan atau mikroba yang
dipakai berbeda dengan yang disebutkan dalam claim patennya Jepang tersebut.
Jadi kita perlu membaca paten paper bagian claim untuk tahu bahwa produk
yang kita buat bisa menghindari paten atau tidak. Akses ke paper di paten
office, UE, US, Australia dan Jepang untuk kegiatan di bidang biology molecular
sudah bisa diakses melalui IP section di CAMBIA, Australia (non profit
organisation who prepare this for any body, especiually researcher from
developing countries, so our product in the future can still be used/sold at
least in our own country (Indonesia), or even in other countries.
Sumber :